Oleh, Pilipus Robaha*
Ruang
dan waktu sangat mempengaruhi kepribadian, karakter, dan pengetahuan seseorang.
Juga membentuk perabadan manusia. Entah skala komunitas atau bangsa. Jika pada
usia anak dan remaja, ruang dan waktu mempengaruhi dan membentuk karakter serta
kepribadiannya. Sedangkan pada usia pemuda, ruang dan waktu mempengaruhi pengetahuannya.
Ini bukan berlaku bagi pemuda yang berstatus mahasiswa saja, tetapi pengangguran
juga. Bahkan pemuda yang masih polos katanya. Mahasiswa tidak selamanya lebih
tahu dari non mahasiswa. Ruang dan
waktu itu bisa lingkungan tempat tinggal atau tempat kerja. Sehebat-hebatnya
ruang dan waktu dapat mempengaruhi seseorang. Namun dapat dirubah oleh seorang
pula yang telah menjadi bagian dari peradaban para ruang dan waktu tersebut.
Tergantung kepekaan, hati nurani, dan kemauan untuk merubah tanpa dipaksa apa
lagi dibayar. Juga buka harus seorang bergelar sarjana.
Apabila
seorang yang bukan mahasiswa se-sering mungkin menghabiskan waktunya bersosialisasi
bersama professor. Maka ia akan banyak tahu. Atau cara berpikirnya akan
dipengaruhi cara berpikir para professor, yang berpikir sistematis dan ilmiah
dalam memecahkan masalah. Juga menjadikannya sebagai individu yang produktif
dalam berpikir dan kreatif dalam bertindak. Dibandingkan dengan mahasiswa yang
banyak menghabiskan waktunya bersama para MASTER (masyarakat terminal).
Bisa-bisa yang diketahui cuman berapa rupiah harga parkiran, ongkos angkutan
umum, dan sewa WC umum sekali pake. Serta menjadi manusia kaku dalam berpikir
dan bertindak. Apa lagi yang suka mengabiskan waktunya hanya untuk ngerumpi diruang tamu sambil mencari
kutu rambut. Pasti yang diketahuinya cuman fitna orang dan ukuran kutu rambut. Itulah
kedasyatan ruang dan waktu dalam membentuk kepribadian, karakter, dan
pengetahuan seseorang. Serta peradaban satu komunitas atau bangsa.
Saya
menghabiskan masa kanak-kanak, remaja dan pemuda di kompleks bajingan, kata
adik perempuan saya yang berkuliah di STT GKI Isack Samuel Kijne untuk
menyebutkan Dok IX Kali. Sehingga Saya pula menjadi bagian dari partikel
sejarah yang membentuk peradaban
kompleks Dok IX Kali. Sebelum dibilang dengan nama kompleks bajingan karena
peradaban asing yang merusak moral dan menghancurkan peradaban sosialis nenek
moyang kita hingga yang tinggal cuman kerjasama pemuda ketika ada kematian
(kedukaan). Itu saja yang bisa dilakukan karena ruang dan waktu.
Kompleks
Dok IX dikenal juga dengan nama mata jalan GANJA. Padahal nama yang sebenarnya
adalah jalan Sulawesi. Saya sedikit sepakat dengan pergantian nama mata jalan
yang dadakan itu. Karena penggunaan
nama mata jalan Sulawesi atau nama-nama tempat di luar Papua, menurut saya adalah upayah mengindonesiakan tanah
Papua. Itu menurut idealisme yang saya dapat dari ruang dan waktu saya hari ini.
Dibilang
kompleks bajingan karena GANJA, barang yang dilarang dan diburuh polisi
ditranksasi secara terang-terangan dan digunakan pun terang-terangan pula di
dalam kompleks. Bahkan apa bila ada laporan keributan ke kantor polisi, polisi
tidak mau masuk ke kompleks. Polisi bisa masuk apa bila jumlah polisi lebih
dari 5 orang. Walau yang ribut cuman dua orang anak remaja. Ini fakta, bukan
opini atau wacana. Inilah tantangan pemerintah Indonesia terutama Gereja di
Kompleks Bajingan.
Ku
ingatkan untuk manusia-manusia terpandang didalam Gereja, bahwa penegakan
aturan yang tidak objektif dalam menjawab kebutuhan pelayanan tidak akan
merubah peradaban asing yang merusak pelayanan hari ini. Kalau Yesus membela
kelas tertindas dengan menentang adat-istiadat yang dibuat nenek moyangNya
karena dianggap tidak objektif lagi dengan situasi. Kenapa kita yang mengaku
menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juru Selamat tidak bisa mencontohinya? Biar
ruang dan waktu di kompleks bajingan yang menjawab. Hhmmmmm saya lupa agama
Kristen juga adala barang asing untuk orang Papua.
Di
kompleks bajingan pada hari minggu, 12 Januari 2017 telah dilakukan pelantikan
dua unsur Jemaat GKI Betania Dok IX Kali. Dua unsur tersebut adalah unsur
Persekutuan Wanita (PW) atau ibu-ibu dan Persekutuan Anak & Rejama (PAR)
atau para pengasuh sekolah minggu. Dan, akan dilakukan pemilihan ulang Badan
Pelayan unsur Persekutuan Anggota Muda ( BP. PAM) setelah dua kali rencana pemilihan ulang
tidak jadi karena kesadaran boikot dari teman-teman yang membutuhkan individu
yang tepat berdasarkan kebutuhan pelayanan yang dibentuk oleh ruang dan waktu.
Bukan pedomoan pelayanan yang kadang tidak objektif untuk diterapkan. Sehingga
kelihatan dipaksakan.
Awalnya
saya yang dipilih menjadi ketua PAM dalam pemilihan. Jumlah suara yang saya peroleh 27 dari 39
suara pemilih atau mengungguli 3 orang kandidat. Tapi karena ada “oknum-oknum” dijemaat
yang menurut saya lembek pada aturan. Sehingga walau aturannya tidak
objektif dengan dinamika pelayanan, namun karena mereka lembek pada aturan.
Maka, mereka tidak dapat membijakinya dengan akal sehat dan hikmat Tuhan demi
kebutuhan pelayanan. Bukan kepentingan pribadai atau golongan seperti yang
dihembuskan-hembuskan oknum-oknum berideology ganda untuk menilai kesedian hati
saya untuk berbuat sesuatu kepada Jemaat, khusus pemuda yang mati suri.
Utamanya demi kemulian nama Tuhan. Namun Dengan pengetahuan organisasi yang mereka
dapat pada ruang dan waktu mereka. Mereka tunduk pada aturan buatan manusia
yang sebenarnya hanya mengatur manusia. Tapi tidak menyelamatkan manusia.
Untuk
menyelamatkan manusia di kompleks bajingan terutama pemuda ditenga-tenga
kondisi ekonomi Jemaat yang krisis dan kepercayaan diri serta moral rohani yang
minus juga iman Kristen yang menipis
akibat pengaruh budaya asing, bukan rohani. Maka, keempat unsur, utamanya
pemuda dan majelis yang menjadi tulang punggung gereja ditenga-tenga jemaat dan
masyarakat rukun warga VII harus berfikir kritis, memahami theology secara
actual, realistis, ilmiah dan produktif agar dapat memecahkan
kontradiksi-kontradiksi dan delektika didalam jemaat. Yang menjadi jangkar
dalam pelayanan belakangan ini, juga budaya asing yang memenuhi ruang dan waktu
Jemaat GKI Betania Dok IX kali disemua unsur. Dan segalah aspek kehidupan berjemaat
didalam bermasyarakat yang membentuk peradaban modern yang merusak rohani dan
jasmani. Selamat Melayani.
*Penulis selama ini mengabdikan
diri sebagai pekerja HAM dan Demokrasi bagi rakyat dan tanah Papua.
No comments:
Post a Comment