Wednesday, February 22, 2017

ANG SAN MEY: HATINYA TIDAK SESIPIT MATANYA



Oleh, Pilipus Robaha*

Diakhir tulisan saya yang berjudul “JEJAKI LANGKAH SEBELUM HILANG DITELAN WAKTU” wanita bermata sipit bernama Ang San Mey dengan kepribadian dan kecintaanna terhadap tanah airnya yang meruntuhkan hati Minke, pribumi terpelajar dan terhormat di mata Gubernamen Hindia Belanda saya singgung sedikit. Jujur saya terpikat hati oleh ceritanya dan orangnya. Tapi sayang ia ditakdirkan hanya untuk Minke dan tunangannya yang bernasib buruk. Selebih-lebihnya untuk rakyat dan negerinya. Sedangkan saya ditakdirkan hanya untuk mencintai perempuan pribumi Papua dari teluk Yotefa. Selebih-lebihnya pula untuk negeri dimana Burung Cendrawasih terbang liar dan bangsa saya yang hitam kulit keriting rambut. Bolehlah jujur sekali lagi! Keterpikatan serta keharuan saya akan kisah hidup dan kepribadian Ang San Mey membuat pujian berkecap-kecap menerobos keluar dari dalam hati.


“Yaaaaa Tuhan! hebat sekali perempuan itu, kisahnya menggugah juga memikat hati saya. Hatinya, semangatnya, ideologinya, hidupnya, semuanya itu dikorbankan hanya demi negeri dan bangsanya. Juga perhatiannya demi bumi yang dipijakinya”  itulah pujian yang keluar walau buku roman tetralogy “JEJAK LANGKAH” yang menuliskan pertemuan Minke dan Mey belumlah habis saya membacanya lalu menulis tulisan ini. Dan sebelum kisah yang memotivasi itu hilang ditelang jejak langkah maka,  akan saya membagikannya didalam tulisan ini. Walau tak seindah Pram, begitula panggilan buat sang sastrawan berkelas dunia milik Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pengarang “JEJAK LANGKAH”. Namun  Saya akan berusaha mencakarnya untukmu, pembaca yang budiman.

Ang Seng Mey bermata sipit, namun hatinya tidak sesipit matanya. nama aslinya misterius, tidak dapat diketahui. Bahkan suaminya sendiri tidak mengetahui namanya yang sebenarnya hingga perempuan cantik itu menutup mata di usianya masih dibilang muda ditangan suaminya dengan damai dan tenang. Setelah lima tahun mereka menikah. Mey mati dibunuh oleh ganasnya Hepatitis Betawi. Suami Mey, Minke adalah, pribumi Melayu yang terpelajar dan terhomat dimasa perbudakan manusia mengental di negeri Hindia Belanda dan pulau-pulau di Nusantara Indonesia. Minke suami nikah Ang San Mey adalah pribumi melayu yang mendirikan organisasi Serikat Priyayi yang kemudian merubah kesingnya menjadi Serikat Dagang Islam. organisasi modern pertama bagi pribumi Melayu . kemudian disusul organisasi Budi Oetomo. Dua organisasis yang menjadi cikal-bakal lahirnya nasion bernama Indonesia. Jika penulis tidak salah dan keliru dari bacaan.

Minke, suami wanita bermata sipit itu tak mengubris kemisteriusan nama yang sengaja disembunyikan oleh perempuan yang ia abadikan dalam lukisan setelah kematiannya itu. Lukisan yang ditempal rapat di dinding kamarnya. Juga diding hatinya. Tak bersikap sebagai detektiv untuk mencari tahu nama asli perempuan yang ia cintai bukan tidak berdasar. Tapi sangat berdasar. Berdasar pada padangan pertama, kecantikan hati dan wajahnya. Juga kepribadian dan ideology yang melekat rapat pada diri Ang San Mey, perempuan Tiongkok yang mati dinegeri pelarian dengan mengorbankan jiwa dan raganya bagi negerinya yang jauh. Serta serta kepedulian hati kepada bumi dan manusia dimana kakinya dipijak, juga hatinya ditambatkan. 

Ang San Mey melarikan diri bersama tunangannya dengan memalsukan nama dan dokumen mereka yang menjadi misteri hingga ajal datang menjemputnya ditangan suaminya, Minke. Tunangannya  yang mati dibunuh adalah sahabat pena Minke sendiri. Orang yang pula mengantarkan Minke bertemu Mey lewat surat yang ditulis tangannya sendiri buat Minke. Sahabat Minke itu,  mati dibunuh di Surabaya. Dan yang membunuhnya adalah bangsanya sendiri dari angkatan tua mereka yang lebih dulu menginjakan kaki di negeri Hindia Belanda. Mereka membunuhnya karena tidak menginginkan keberadaan tunangan Mey. Juga mungkin angkatan muda lainnya dari Partai Teratai Putih. Semoga angkatan tua kita yang berjuang di perasingan tidak berpikaran negative kepada angkatan muda. Mudah secara usia maupun keberadaan di negeri asing.  

Sebelum mengenal Minke, suaminya. Ang San Mey tinggal disebuah rumah kontrakkan yang hanya berukuruan 3 x 3 meter dengan harta milik satu tas koper berisi beberapa helai pakian. Rumah kontrak milik bangsanya sendiri. Karena pada waktu itu jurang pemisah antara pribumi Melayu, dan orang Eropa serta Arab dan Tionghoa berdiri kokoh bak tembok berlin. Mey menjalani hidupnya sebagai seorang guru privat bahasa Inggris dan Mandarin bagi anak-anak Tionghoa di Hindia Belanda. Pekerjaan itu dilakukan bukan saja untuk menyambungkan hidupnya di negeri pelariannya, Hindia Belanda. Tetapi juga membiayai  perlawanan bawah tanah untuk membebaskan bumi dan rakyatnya dari penjajahan sebangsanya sendiri, Jepang dan Inggris sebagai bangsa asing yang mengkoloni bumi dan rakyatnya. Hingga ia mati tak dikenang rakyat dan bangsanya sendiri. Juga tak melihat dan menikmat kemerdekaan sebagai hasil kontribusinya dalam berjuang bersama Partay Teratai Putih. Partai pemuda tiongkok yang dimusuhi angkatan tua mereka di Hindia Belanda karena seruan revolusi yang tak mengenal kompromi.

Adakah perempuan Papua, berusia muda, yang kecantikan wajahnya tidak harus mengalahkan Camila Valejo aktivis buruh asal Cile yang memperjuangkan hak-hak buruh. Atau Ang Sang Mey perempuan yang membuat Minke yang terpelajar dan terhormat cemburu. Juga dikeluarkan dari sekolah kedokteran karena belum waktunya dikukuhkan menjadi dokter, ia sudah membuat resep obat untuk istrinya yang lemah terbaring dalam kesakitan akibat tidak memperhatikan dirinya dibanding negeri dan rakyatnya yang diperbudak sebangsanya sendiri dan Inggris sebagai bangsa asing, adakah gerangan itu? Minke membuat resep hanya untuk meyakinkan kata-kat istrinya yang sebenarnya adalah sebuah permintaan agar Minke menjadi dokter bagi bangsanya sendiri. Dokter yang bukan saja menyembuhkan bangsanya dari kuman penyakit Hepatitis. Tetapi membebaskan jiwa dan raga bangsanya dari kuman perbudakan. Adakah diantara pembaca yang budiman, khusus perempuan Papua yang mau mengikuti jejak langka perempuan-perempuan hebat yang mati demi negeri dan bangsanya? Atau menjadi bagian dari gigi-gigi roda yang menggilas bumi dan manusia Papua dengan sikap malas tahu?


*Penulis adalah aktivis SONAMAPPA

No comments:

Post a Comment