Oleh,
Pilipus Robaha*
Diakhir
tulisan saya yang berjudul “JEJAKI LANGKAH SEBELUM HILANG DITELAN WAKTU” wanita
bermata sipit bernama Ang San Mey dengan kepribadian dan kecintaanna terhadap
tanah airnya yang meruntuhkan hati Minke, pribumi terpelajar dan terhormat di
mata Gubernamen Hindia Belanda saya singgung sedikit. Jujur saya terpikat hati oleh
ceritanya dan orangnya. Tapi sayang ia ditakdirkan hanya untuk Minke dan
tunangannya yang bernasib buruk. Selebih-lebihnya untuk rakyat dan negerinya. Sedangkan
saya ditakdirkan hanya untuk mencintai perempuan pribumi Papua dari teluk
Yotefa. Selebih-lebihnya pula untuk negeri dimana Burung Cendrawasih terbang
liar dan bangsa saya yang hitam kulit keriting rambut. Bolehlah jujur sekali
lagi! Keterpikatan serta keharuan saya akan kisah hidup dan kepribadian Ang San
Mey membuat pujian berkecap-kecap menerobos keluar dari dalam hati.
“Yaaaaa
Tuhan! hebat sekali perempuan itu, kisahnya menggugah juga memikat hati saya.
Hatinya, semangatnya, ideologinya, hidupnya, semuanya itu dikorbankan hanya demi
negeri dan bangsanya. Juga perhatiannya demi bumi yang dipijakinya” itulah pujian yang keluar walau buku roman
tetralogy “JEJAK LANGKAH” yang menuliskan pertemuan Minke dan Mey belumlah
habis saya membacanya lalu menulis tulisan ini. Dan sebelum kisah yang
memotivasi itu hilang ditelang jejak langkah maka, akan saya membagikannya didalam tulisan ini.
Walau tak seindah Pram, begitula panggilan buat sang sastrawan berkelas dunia
milik Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pengarang “JEJAK LANGKAH”. Namun Saya akan berusaha mencakarnya untukmu,
pembaca yang budiman.
Ang
Seng Mey bermata sipit, namun hatinya tidak sesipit matanya. nama aslinya
misterius, tidak dapat diketahui. Bahkan suaminya sendiri tidak mengetahui
namanya yang sebenarnya hingga perempuan cantik itu menutup mata di usianya
masih dibilang muda ditangan suaminya dengan damai dan tenang. Setelah lima
tahun mereka menikah. Mey mati dibunuh oleh ganasnya Hepatitis Betawi. Suami
Mey, Minke adalah, pribumi Melayu yang terpelajar dan terhomat dimasa
perbudakan manusia mengental di negeri Hindia Belanda dan pulau-pulau di
Nusantara Indonesia. Minke suami nikah Ang San Mey adalah pribumi melayu yang
mendirikan organisasi Serikat Priyayi yang kemudian merubah kesingnya menjadi
Serikat Dagang Islam. organisasi modern pertama bagi pribumi Melayu . kemudian
disusul organisasi Budi Oetomo. Dua organisasis yang menjadi cikal-bakal lahirnya
nasion bernama Indonesia. Jika penulis tidak salah dan keliru dari bacaan.
Minke,
suami wanita bermata sipit itu tak mengubris kemisteriusan nama yang sengaja
disembunyikan oleh perempuan yang ia abadikan dalam lukisan setelah kematiannya
itu. Lukisan yang ditempal rapat di dinding kamarnya. Juga diding hatinya. Tak
bersikap sebagai detektiv untuk mencari tahu nama asli perempuan yang ia cintai
bukan tidak berdasar. Tapi sangat berdasar. Berdasar pada padangan pertama,
kecantikan hati dan wajahnya. Juga kepribadian dan ideology yang melekat rapat
pada diri Ang San Mey, perempuan Tiongkok yang mati dinegeri pelarian dengan
mengorbankan jiwa dan raganya bagi negerinya yang jauh. Serta serta kepedulian
hati kepada bumi dan manusia dimana kakinya dipijak, juga hatinya ditambatkan.
Ang San Mey
melarikan diri bersama tunangannya dengan memalsukan nama dan dokumen mereka
yang menjadi misteri hingga ajal datang menjemputnya ditangan suaminya, Minke.
Tunangannya yang mati dibunuh adalah
sahabat pena Minke sendiri. Orang yang pula mengantarkan Minke bertemu Mey
lewat surat yang ditulis tangannya sendiri buat Minke. Sahabat Minke itu, mati dibunuh di Surabaya. Dan yang membunuhnya
adalah bangsanya sendiri dari angkatan tua mereka yang lebih dulu menginjakan
kaki di negeri Hindia Belanda. Mereka membunuhnya karena tidak menginginkan
keberadaan tunangan Mey. Juga mungkin angkatan muda lainnya dari Partai Teratai
Putih. Semoga angkatan tua kita yang berjuang di perasingan tidak berpikaran
negative kepada angkatan muda. Mudah secara usia maupun keberadaan di negeri
asing.
Sebelum
mengenal Minke, suaminya. Ang San Mey tinggal disebuah rumah kontrakkan yang
hanya berukuruan 3 x 3 meter dengan harta milik satu tas koper berisi beberapa
helai pakian. Rumah kontrak milik bangsanya sendiri. Karena pada waktu itu
jurang pemisah antara pribumi Melayu, dan orang Eropa serta Arab dan Tionghoa
berdiri kokoh bak tembok berlin. Mey menjalani hidupnya sebagai seorang guru
privat bahasa Inggris dan Mandarin bagi anak-anak Tionghoa di Hindia Belanda.
Pekerjaan itu dilakukan bukan saja untuk menyambungkan hidupnya di negeri
pelariannya, Hindia Belanda. Tetapi juga membiayai perlawanan bawah tanah untuk membebaskan bumi
dan rakyatnya dari penjajahan sebangsanya sendiri, Jepang dan Inggris sebagai
bangsa asing yang mengkoloni bumi dan rakyatnya. Hingga ia mati tak dikenang
rakyat dan bangsanya sendiri. Juga tak melihat dan menikmat kemerdekaan sebagai
hasil kontribusinya dalam berjuang bersama Partay Teratai Putih. Partai pemuda
tiongkok yang dimusuhi angkatan tua mereka di Hindia Belanda karena seruan
revolusi yang tak mengenal kompromi.
Adakah perempuan
Papua, berusia muda, yang kecantikan wajahnya tidak harus mengalahkan Camila
Valejo aktivis buruh asal Cile yang memperjuangkan hak-hak buruh. Atau Ang Sang
Mey perempuan yang membuat Minke yang terpelajar dan terhormat cemburu. Juga
dikeluarkan dari sekolah kedokteran karena belum waktunya dikukuhkan menjadi
dokter, ia sudah membuat resep obat untuk istrinya yang lemah terbaring dalam
kesakitan akibat tidak memperhatikan dirinya dibanding negeri dan rakyatnya
yang diperbudak sebangsanya sendiri dan Inggris sebagai bangsa asing, adakah
gerangan itu? Minke membuat resep hanya untuk meyakinkan kata-kat istrinya yang
sebenarnya adalah sebuah permintaan agar Minke menjadi dokter bagi bangsanya
sendiri. Dokter yang bukan saja menyembuhkan bangsanya dari kuman penyakit
Hepatitis. Tetapi membebaskan jiwa dan raga bangsanya dari kuman perbudakan.
Adakah diantara pembaca yang budiman, khusus perempuan Papua yang mau mengikuti
jejak langka perempuan-perempuan hebat yang mati demi negeri dan bangsanya?
Atau menjadi bagian dari gigi-gigi roda yang menggilas bumi dan manusia Papua
dengan sikap malas tahu?
*Penulis
adalah aktivis SONAMAPPA
No comments:
Post a Comment