Monday, October 3, 2016

JAKSA: DISKRIMINASI HUKUM


Oleh, Pilipus Robaha*


Dalam angkutan umum yang penuh sesak, serta aroma Parfum yang berbeda-beda, juga menyengat lubang hidung, kesabaranku teruji oleh lambannya kecepatan angkutan umum yang dikendarai, seorang bapak dari negeri seberang. Seorang yang berbeda ras denganku, juga budaya dan adat-istiadat. Tetapi itu bukan persoalan utama yang membuatku gelisa dan emosi di dalam angkutan umum. Yang menjadi persoalan ialah perasaan takut terlambat dalam mengikuti sidang kasus “Lakalantas” yang menewaskan presiden pasar mama-mama Papua, Robert Jitmau dengan agenda sindang mendengarkan keterangan saksi.

Perasaan bersalah karena terlambat itu, semakin mencuat, membuat urat-urat emosi di testaku menampakan dirinya, ketika terlihat jarum jam yang panjang pada jam tangan seorang pelajar SMA menunjuk angka 6, sementara jarum pendek berada di pertengaan angka 10 dan 11. Berarti diriku sudah telat 30 menit. Tidak tahu dengan si anak SMA yang terlihat santai menikmati lambannya kendaraan yang dinakodai orang tua paruh baya itu.


Perasaan bersalah sebab terlambat semakin menjadi-jadi didalam hati dan pikiran ketika kata “Rojit seakan bukan anak kami, dia milik orang Papua setelah memilih dunia aktivis sebagai dunianya. Tetapi setelah 40 hari paskah kematiannya! Ribuan tangisan yang membuat dirinya meninggalkan kami demi menghapus ribuan air mata itu, entah dimana?” Bilang Direktur Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, Yuliana Langoyuwo menirukan kata-kata ibu biologis dari Robert Jitmau.  Suara seorang ibu yang rela melepaskan anak biologisnya menjadi anak ideologis bagi mama-mama pedagang asli Papua, pada saat meng up date agenda sindang “lakalantas” yang menewaskan sekertaris Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP) pada (20 Mei 2016) di Jalan Ring Road Kelurahan Hamadi Kota Jayapura, pukul 05.00 WP.

Sesampainya, aku di Kantor Pengadilan Kelas 1A Jayapura, sudah ada puluhan mama-mama yang sehari-harinya duduk berjualan buah-buah pinang serta sayur-sayuran dan kerajinan tangan (noken) mereka dengan beralas karton dan karung bekas di pasar sementara bagi mama-mama pedang asli Papua yang dibangung pemerintah Daerah Papua atas desakan perjuangan alm Rojit Cs.

Mama-mama pedagang asli Papua ini, telah ada di kantor pengadilan klas 1A Jayapura, lebih awal dari waktu yang diputuskan atau ditetapkan untuk melanjutkan agenda sidang ke tiga, kasus “lakalantas” yang menewaskan anak ideologis mereka, Robert Jitmau. Dengan agenda mendengarkan keterangan saksi. Dan memang mereka paling setia menghadiri sidang tersebut serta disiplin dan konsisten dengan waktu yang telah diputuskan oleh pengadilan. Tidak seperti pihak Jaksa  di Papua yang sering molor berjam-jam guna memancing di “air keruh” pada kolam waktu yang molor.

Rabu 20 September 2016 Pukul 10.00 WP adalah waktu yang diputuskan oleh jaksa untuk melanjutkan sidang dengan agenda mendengarkan keterangan. Tetapi yang terjadi tidak sesuai dengan waktu yang diputuskan oleh pengadilan. Kurang 25 menit lagi jam empat (4) sore barulah dimulai. Itu artinya 5 jam 35 menit telah dikorupsi oleh pengadilan.

Waktu saja sudah dikorupsi apa lagi uang, pasti dicuri, hehehe. Tapi itu bukan hal yang baru di pengadilan Papua dan bukan saja untuk kasus Rojit, namun hampir disemua kasus yang masuk ke pengadilan Papua mengalami pelayanan yang sama, buruknya. Atau kah memang itu wajah Negara di Papua dalam hal pelayanan publik? Perlu diketahui bahwa, dalam kasus “lakalantas” yang menewaskan aktivis muda Papua, Roberth Jitmau S.H. Pihak jaksa penuntut umum tidak mengembangkan kasus tersebut berdasarkan dinamika yang berkembag di luar pengadilan, juga berdasarkan keterangan para saksi pada saat persidangan.

Contohnya; dalam keterangan para saksi, saksi ada menyebutkan nama orang yang lain lagi, tapi jaksa tidak memanggil nama orang tersebut untuk dimintai keterangannya di pengadilan. Juga Jaksa Penuntut umum tidak memanggil dokter yang melakukan tindakan medis (membersihkan) tubuh korban di rumah sakti Bahyangkara Papua atau ahli transportasi untuk mendapatkan keterangan apakah kasus tersebut merupakan lakalantas murni atau lakalantas jadi-jadian. Mengingat korban tidak sedang mengendarai kenderaan, tapi sedang diam di tempat lalu ditabrak dan lokasi kejadian adalah lokasi yang dipilih teman dari terdakwa yang nota bene adalah orang mengajak korban, Rojit.

Yaaa, setidaknya JPU di Pengadilan Papua yang menangani kasus ini, bertindak seperti halnya JPU dalam kasus kopi bersianida yang menyeret Jessica Kumala Wongso ke meja hijau sebagai tersangka pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang telah memasuki sidang ke 15 dengan menjadikan terdakwa, Jessica sebagai saksi dan menurut Arditho salah satu JPU dalam kasus kopi bersianida masih akan memanggil saksi, dan kali ini akan lebih menyortir saksi, OKEZONE, Senin (29/8/2016). Berharap JPU  dalam kasuss “lakalantas” ini, bertindak sama, mulai dari waktu hingga pengembanan kasus.

Melihat dinamika persidangan dan profesionalisme dari para jaksa, mulai dari Jaksa Penuntut Umum hingga ketiga jaksa yang memimpin persidangan yang terlihat tidak profesional dalam membuat pertanyaan untuk menggali keterangan saksi dan mengembangkan kasus, membuatku semakin naik pitam. Sementara perasaan bersalah karena terlambat yang menghantuiku didadalam perjalan telah hilang ditelang dinamika persidangan serta profesionalisme JPU yang buruk dalam mengungkap tabir kebenaran. Dan memang diriku tidak terlambat karena diselamatkan dengan pemberlakuan Jam “karet” di Pengadilan Klas 1A Jayapura.  

Dinamika itu, semakin mengkristalkan kesadaraanku, kalau Negara Indonesia di Papua sangat diskrminasi bagi kami orang asli Papua. Jadi wajar kalau orang Papua minta merdeka, keluar dari NKRI karena praktek hukum di Papua dan di luar Papua sangat jauh berbeda. Contohnya kasus lakalantas yang menewaskan Roberth Jitmau seorang di Papua dan kasus Kopi bersianida yang menewaskan Wayang Mirna Salihin di Jakarta.



*Penulis adalah Ketua I SONAMAPA

Saturday, October 1, 2016

ABUNAWAS DI PBB

Oleh. Pilipus Robaha*

“Menampar, Skatmat, dan Hajar” tujuh negara pasifik membuat diplomat Indonesia, Nara Rakhmatia menjadi buah bibir media di Indonesia. pujian dan sanjungan didapat Diplomat cantik, juga masih muda, ketika menjawab kritikan dari tujuh kepala Negara Pasifik yang mengakat masalah pelanggaran HAM di Papua dan selfdetermination bagi Papua dalam Sidang Umum PBB sesi ke-71 yang digelar di New York Amerika Serikat pada 13-26 September 2016 lalu. Jawaban Nara atas kritikan tujuh kepalah negara pasifik yang prihatin terhadap persoalan pelanggaran HAM di Propinsi paling timur dari Indonesia, Propinsi yang menurut bapak reformasi Indonesia, Amien Rais ketika menjadi bintang tamu diacara kickendy bahwa tinggal menunggu waktu saja untuk merdeka, membuat Nara bukan saja menjadi buah bibir masyarakat Indonesia, tapi juga orang Papua sebagai subjek yang dibelah.