Oleh, RAWARAP*
Belakangan
ini tanah Papua sangat mendapatkan perhatian yang serius oleh pemerintah
Indonesia. lihat saja! jumlah kunjungan Presiden Jokowi ke Papua sejak dirinya
dilantik oleh, Majelis Perwakilan Rakyat RI (MPR RI) pada (20/Oktober/2014).
Tercatat sudah enam kali Jokowi berkunjung ke Papua. Bahkan Presiden separuh
Cina itu, berjanji akan berkunjung lagi ke Bumi Cendrawasi. Sebuah catatan sejarah bukan!?
Kunjungan
Jokowi yang ke enam terjadi pada pada (9-10/5/ 2017) dalam rangka meresmikan Pos Lintas Batas
Negara (PLBN) Skouw, meninjau empat proyek listrikan, membagikan Kartu
Indonesia Sehat, memberikan sertifikat tanah, serta meninjau Pasar Mama Papua,
dan Jalan Wamena-Habema di Kabupaten Jayawijaya-Propinsi Papua.
Bahkan baru-baru ini, agenda
DIALOG Jakarta-Papua yang telah ditolak rakyat Papua sebagai, bukan solusi penyelesaian
persoalan HAM dan Politik di Papua yang didorong oleh Jaringan Damai Papua (JDP)
baru mau diterima dan di paksakan oleh Jokowi lewat JPD sebagai metode
penyelesaian konflik di Papua dengan nama dialog sektoral antara pemerintah
Jakarta dan orang Papua.
Selain Jokowi. Mantan
Kapolda Papua yang kini menjabat sebagai Kepala kepolisian repulik Indonesia
(Kapolri) Jendral Tito Karnavia. Dimana Tito Karnavia pada saat mengikuti HUT
RI ke 72, di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/8/2017), dirinya menggunakan
busana adat orang Papua seakan dirinya tak beradat dan tak berbudaya. Sehingga mantan
Kapolda Papua itu menggunakan busana adat orang Papua dihari HUT kemerdekaan
Indonesia yang menyita perhatian pemburuh berita.
Pula bukan sampai disitu
saja upaya yang dilakukan oleh pemerintah Jakarta untuk Papua belakangan ini. Lihat
saja perayaan 17 Agustus tahun ini di Papua. Di Jakarta atau diluar Papua,
perayaan 17 Agustus seperti dikuburan tua. Tapi di Papua, bendera merah putih
ditancap di jalan-jalan kota hingga jalan-jalan tikus di rimba raya Papua, juga
dalam laut. Serta segalah bentuk perayaan, seperti karnaval, dll. Dilakukan di seantero
tanah Papua. Sesuatu yang baru terjadi di Papua sejak Papua “diintegrasikan” ke
dalam bingkai NKRI. Bahkan menurut seorang kawan saya yang kuliah di Jakarta,
dan ia menulis apa yang dilihatnya itu di akun Facebooknya.
Kawan saya itu mencoba
mengkritik rakyat Papua yang terlibat dalam perayaan 17 Agustus. Ia mengatakan
bahwa orang Papua lebih sibuk menyongsong kemerdekaan RI dari pada memperjuangakan
kemerdekaan Papua. pada hal di Jakarta yang adalah Ibu Kota Negara Indonesia,
tidak ada satu pun kegiatan yang dilakukan disetiap menjelang HUT RI. Tapi di
Papua mama yoooooo merah putih
berkibar tidak tahu diri. Itu adalah fakta, katanya.
Bukan itu saja, setelah
perayaan 17 Agustus, di Papua banyak berita yang dinyatakan oleh pemerintah
Indonesia di Papua sebagai sejarah bagi orang Papua. Karena pada perayaan HUT
RI, ada Sertu Frida Natalia Ningsi Suebu, Perempuan Papua asal Sentani dan
Sertu Nelson Beteyop pria asal Timika yang adalah putra dan putri asli Papua, menjadi penerjung payung diantara
16 perjung payung yang diterjung dilangit Kota Jayaura dan mendarat di lapangan
Mandala Jayapura. Sedangkan Mayor Pnb Irenius Murib asal Wamena menerbangkan
Helly Bell 412, Helikopter serbaguna dan mendarat di Mandala.
Hal itu menurut Asisten
Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Setda Propinsi Papua Elia Loupatti,
ketika menyambut massa rakyat Papua yang tergabung dalam Kamar Adat Pengusaha
Papua (KAPP). Yang melalukan demonstrasi
dalam rangka pencanangan kebangkitan ekonomi orang asli Papua di Halaman Kantor
Gubernur Propinsi Papua-Jayapura, Kamis (7/9/2017) sebagai kebanggan dan
sejarah bagi orang Papua.
Elia Loupati, mengatakan bahwa apa yang dicatatkan oleh Sertu Frida
Natalia Ningsi Suebu, dan Sertu Nelson Beteyop, serta Mayor Pnb Irenius Murib pada
saat perayaan 17 Agustus tahun ini adalah kebanggaan dan sejarah bagi orang
Papua. Juga sebagai bukti keseriusan pemerintah Idonesia dalam membangun tanah dan
manusia Papua.
Saya,
sependapat dengan apa yang di katakan Asisten Bidang Perekonomian dan
Kesejahteraan Rakyat Setda Propinsi Papua, Elia Loupatti bahwa apa yang terjadi
bagi Sertu Natalia Ningsi Suebu, Sertu Nelson Beteyop, dan Mayor Pnb Irenius
Murib pada perayaan HUT RI Ke 72 di Papua harus dicatat sebagai sejarah dan
menjadi kebanggan bagi orang Papua.
Juga
saya, setali dengan pernyataan Loupatti bahwa sejarah yang ditorehkan Ningsi
Suebu, Nelson Beteyop, dan Irenius Murib adalah bukti keseriusan pemerintah
Indonesia dalam membangun tanah dan manusia Papua. Apalagi dihitung-hitung
dengan kunjungan Jokowi ke Papua dan tindakan Kapolri Tito Karnavia dan
Istrinya pada saat menghadiri HUT RI Ke 72 di Instana Merdeka-Jakarta.
Namun
jika itu semua direnungkan kembali dari segi usia “integrasi” Papua kedalam
bingkai NKRI dan dari segi subangsi rakyat Papua melalui sumber daya alamnya
kepada Negara. Maka semua itu tidak akan menjadi sejarah dan kebanggaan bagi
orang Papua. Juga tidak akan mengembalikan kepercayaan diri orang Papua kepada
negara dan pemerintah Indonesia bahwa ada keseriusan Jakarta untuk membangun
tanah dan manusia Papua. Melainkan semua itu hanya akan mempertebal pendapat
rakyat Papua bahwa keberadaan NKRI di Papua hanya untuk menjajah dan
mengeksploitasi SDA Papua.
Juga
semua itu hanya untuk memina bobohkan rakyat Papua serta gerakan dan dukungan
rakyat Papua kepada United Liberation
Movement for West Papua (ULMWP) yang dideklrasikan di Saralana Port
Vila-Ibu Kota Negera Republik Vanuatu pada (6 Desember 2014) sebagai wadah
perjuangan pembebasan nasional Papua Barat. Yang kini perjuangannya sudah
semakin menggurita didalam dan luar negeri. Bahkan telah mengisi ruang-ruang
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Apa
benar? Yaaa, tidak bisa dibilang
tidak benar. Sebab usia integrasi Papua didalam bingkai NKRI sudah 54 tahun dan
kekayaan SDA Papua telah dieksploitasi secara besar-besaran untuk membangun Negara
dan rakyat Indonesia. Tetapi kenyataannya orang asli Papua masih hidup jauh
dari kata sejahtera.
Bahkan
sejak Papua di “integrasikan” kedalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) pada 1 Mey 1963 sampai sekarang ini. Harga diri orang Papua masih
dilecehkan. Manusia dan budaya orang
Papua terus dijadikan objek kepentingan kekuasan. Juga negara Indonesia masih
terus membunuh karakter orang asli Papua dengan berbagai stigma, seperatis OPM,
Makar, GPK, masih bodoh, dan terbelakang. Sehingga wajar bila, apa yang dibuat
belakangan ini oleh pemerintah dan negara bagi orang asli Papua dianggap
sebagai pencitraan.
Tetapi
apa bila yang saya katakan sebagai pencitraan itu dianggap tidak benar. Maka selama
Papua masih berada didalam bingkai NKRI. Negara harus menggratiskan pendidikan bagi
orang asli Papua mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi,
memberikan kredit Cuma-Cuma bagi para pedagan dan nelayan asli Papua setiap
tahun, memberikan beasiswa tanpa syarat bagi anak-anak asli Papua yang hendak
kuliah di luar Papua, bahkan diluar negeri. Serta menggratiskan segala akses
pelayanan publik bagi orang asli Papua tanpa dipolitisir, dan memberikan jaminan
sosial bagi janda-duda serta para pemuda Papua yang masih pengangguran. Itu semua
sebagai bukti keseriusan negara dalam membangun tanah dan manusia Papua. Titik.
Bisa tidak yaaaaaa?
(sumber foto : google)
No comments:
Post a Comment