Oleh, Pilipus Robaha*
Ada
apa yaaa dengan tanggal 30 September
di Indonesia? Kok rame sekali. Mulai dari Ibu Kota Negara hingga
ke Papua. Padahal HUT RI itu ada dibulan
Agustus. Bulan dimana, di Nusantara Indonesia rame dengan berbagai kegiatan sosial
dalam rangkah memeriahkan HUT RI pada 17 Agustus.
Atau
keramaian dipenghujung bulan September ini, untuk menghilangkan demam perayaan
HUT RI? Bisa juga. Tapi tidak logis karena negara yang bernama republik
Indonesia ini didirikan bukan untuk 17 Agustus. Melainkan untuk apa peristiwawa sejarah, pada 17 Agustus 1945 itu
terjadi. Dan itu adalah pekerjaan yang berat, seperti yang dikatakan Presiden.
Pertama RI.
“Perjuanganku
lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena
melawan bangsamu sendiri” demikian kata bung Karno. Sehingga tidak mungkin
“rame-rame” sesama anak bangsa pada 30 September, untuk menghilangkan demam HUT
RI.
Lalu
“rame-rame” antar anak bangsa di setiap tanggal 30 September di Indonesia itu
kenapa? Dan Kok “rame-rame”nya pun
ketika rezim orba (orde baru) yang
sangat diktator digulingkan oleh mahasiswa pada bulan Mey 1998.
Reformasi.
Yaaa itu karena reformasi. Gerakan reformasi untuk demokrasi yang diperjuangkan mahasiswa Indonesia angkatan 1998 adalah
jawaban mendasar dari pertanyaan diatas. Sebab jika gerakan reformasi itu tidak
ada atau gagal menggulingkan sang Jendral dari taktahnya. Maka tanggal 30
September di Indonesia tak akan “se-rame-rame” tahun-tahun belakangan ini. Itu
menurut saya. Thank’s yaaaa para patriot
1998.
Pula
menurut saya bahwa, angin reformasilah yang membuat aroma bangkai 30 September
1962 dan 30 September 1965 tercium, juga meniup pergi awan gelap yang menutupi kedua
tabir sejarah tersebut. Sehingga dua peristiwa yang memalukan bangsa dan negara Indonesia
mulai tercium oleh hidung, didengar telinga, dilihat mata, juga terpikiran di
kepala dan hati rakyat Indonesia. Serta para korban kejahatan kemanusian itu
sendiri, yang adalah anak-anak Ibu Pertiwi, baik kandung maupun tiri. Yang
kemudian memaksa anak-anak ibu pertiwi ini, baik kandung maupun tiri “rame-rame” angkat suara, saling salah-menyalahkan benar
membenarkan. Sehingga, terjadilah keributan yang dapat dikatakan “rame bangat”. Tidak seperti tahun-tahun
sebelum reformasi.
Emangnya, ada apa pada 30 September 1962 dan 30 September
1965? Ada Roma Agreement dan Genoside.
Roma
Agreement adalah salah satu perjanjian
internasional yang dibuat oleh pemerintah Indonesia, Belanda, dan Amerika
Serikat, pada 30 September 1962 di Roma, Ibu Kota Negara Italia. Perjanjian
Roma ini dibuat guna mengakhiri sengketa wilayah Papua (dulu Irian Barat) antara
Indonesia dan Belanda.
Perjanjian
ini dianggap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bagi orang asli Papua. Karena
dibuat dengan tujuan mengakhiri konflik perebutan wilayah West Papua antara Belanda dan Indonesia. Tetapi tidak melibatkan satu
pun orang asli Papua, pada waktu itu. Dengan alasan orang Papua belumlah cakap
dan masih terbelakang dan bodoh.
Padahal
pada tahun 1928 di Miey, Kabupaten Teluk Wonda-Propinsi Papua Barat. I.S.Kijne
yang dinobatkan oleh Gereja Kristen Injili di tanah Papua sebagai rasul orang
Papua, telah membuka sekolah bertaraf asrama, dan menyekolakan anak-anak Papua.
Dan anak-anak Papua yang sekolah di Miey ini kemudian direkrut oleh Pemerintah
Kerajaan Belanda yang pada waktu itu juga menjajah Papua, untuk disekolahkan di
sekolah pamong praja di Kota Nica sekarang Waena Kampung-Kota Jayapura-Propinsi
Papua.
Anak-anak
Papua dari Sorong sampai Merauke yang telah mengeyam pendidikan, termaksud Alm.
Nicolaas Jouwe yang baru di panggil Tuhan pada (Sabtu/16 September/2017) di
rumahnya di Kalibata, Jakarta Selatan dan disemayamkan pada (Kamis, 21
September 2017) di kampung halamannya di Kayo Pulo, Kota Jayapura, Propinsi
Papua. Dengan hikmat dan kesadaran
sebagai satu bangsa yang berbeda dari Indonesia dan Belanda mereka membentuk
Dewan Nasional Papua (New Gunea Raed).
Atau lembaga setingkat DPR RI pada 5 April 1961. New Gunea Raed dibentuk guna mempersiapkan pemerintahan atau negara
Papua Barat yang merdeka dan berdaulat sendiri dari Belanda ataupun Indonesia.
Kemudian
pada 19 Oktober 1961, para intelektual Papua dari Sorong sampai Merauke yang distigma
tidak cakap, bodoh, dan masih terbelakang oleh Indonesia dan Belanda sehingga
tidak dilibatkan dalam pembuatan Perjanjian Roma itu, melakukan Kongres Pertama
Rakyat Papua (KRP I) dan menghasilkan keputusan sbb:
1. Memutuskan Nama Negara : West Papua
2. Wilayah Papua Barat :
Dari Sorong-Merauke
3. Memutuskan Lambang Negara : Burung Mambruk
4. Memutuskan Lagu Kebangsaan : Hai Tanahku Papua
5. Memutuskan Bendera Negara : Bintang Fajar
6. Memutuskan Tanggal Kemerdekaan : 1 Desember Sebagai Tanggal Kemerdekaan
Kita
kembali ke Perjanjian Roma.
Salah satu isi dari Roma Agreement
adalah pemerintah kerajaan Belanda harus menyerahkan administrasi wilayah Irian
Barat kepada pemerintah Indonesia. Dan
pemerintah Indonesia berkewajiban membangun Papua selama 25 tahun dengan
bantuan dana dari Amerika Serikat. Serta Amerika Serikat diberi ijin untuk
mengeksploitasi tambang emas di Timika-Papua.
Setelah
25 tahun membangun Papua, pemerintah Indonesia diharuskan mengembalikan Papua
ke Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.
Menurut
saya, bantuan keuangan dari Amerika Serikat yang tertuang didalam Perjanjian
Roma itulah yang digunakan oleh Soeharto untuk membiayai program REPELITA di
seluruh Indonesia. Serta mencurinya untuk memperkaya dirinya, keluarganya, dan
kelompoknya.
Asas
dari Perjanjian Roma itulah tepat 25 tahun. Dr. Thomas Wanggai (Alm) memproklamasikan negara Melanesia
Barat pada 14 Desember 1988 di Stadion Mandala Jayapura untuk menagih janji
Roma Agreement. Karena Thomas Wanggai
sepertinya telah mencium gelagat dari pemerintah Indonesia yang tidak mahu
mengembalikan Papua ke PBB berdasarkan perjanjian Roma. Tetapi ingin menjajah
dan menguasi Papua dengan cara menyembunyikan dan membelokan sejarah Papua,
terutama Roma Agreement. Dan itu
terbukti sekarang ini, Indonesia tidak mahu mengembalikan Papua ke PBB untuk
menentukan nasib sendiri seperti yang tertuang didalam Perjanjian Roma.
Perjanjian
Roma, dan sejarah Papua yang disembunyikan serta dibelokan oleh negara. Juga tidak
diajarakan pada sekolah-sekolah di Papua sebagai pelajaran sejarah yang
konteksnya Papua hanya dijadikan materi pendidikan politik oleh
organisasi-organisasi oposisi bagi pemerintah dan negara Indonesia di Papua. Sehingga
ketika angin reformasi di Indonesia bagian Barat tercium sampai ke bagian Timur.
Maka pengetahuan yang didapatkan dari
pendidikan sejarah non formal itu mulai disuarakan dijalan-jalan, dan di dalam
gedung-gedung dengan berbagai bentuk untuk mencari dan menuntut kebenarannya.
Itu
sebabnya, pada 30 September keributan antara Negara yang ingin mempertahankan
kedaulatannya atas Papua. Dengan berpegang pada hasil PEPERA yang dianggap
cacat hukum oleh Prof. Pieter J. Droogleve dalam bukunya “Daad van Vrije Keuze, de Papuans van Westelijk Nieuw Guine, en de
grenzen van het Zelfbeschichtingg recht” yang telah diterjemahkan kedalam
Bahasa Indonesia oleh Dr. Johanes Riberu, setebal 300 halaman dengan judul “Tindakan
Pilihan Bebas”. Berbenturan dengan rakyat Papua yang meminta pelurusan sejarah
integrasi Papua kedalam bingkai NKRI karena merasa ada yang keliru dan salah dalam
proses integrasi Papua ke dalam NKRI, juga Roma Agreement.
Sementara
Genoside adalah peristiwa pembataian ±
satu juta jiwa rakyat Indonesia yang dituduh memiliki paham Komunis dibeberapa
pulau besar di Indonesia pada 1965-1966.
Menurut,
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965, Bejo Untung. Bahwa ada beberapa
pulau di Indonesia yang telah diidentifikasi terdapat kuburan massal, yaitu Pulau Sumatera,
Pulau Jawa, serta Pulau Bali, dan data penelitian mereka adalah data yang
valid. Data tersebut akan diserakan kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri
Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
“Kami
punya data valid mengenai lokasi kuburan massal 1965 dari semua daerah di
Indonesia. data tersebut diteliti oleh teman-teman bekas tahanan politik yang
tinggal di daerah. Data itu akan kami serahkan kepada Presiden Joko Widodo dan
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. ” ujar Beto ketika di hubungi Kompas.com, Selasa (26/4/2016).
“Di
Pulau Sumatera, kuburan massal telah terindentifikasi di beberapa titik,
seperti di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Padang Pariangan, Solok, Riau, dan
Palembang” kata Bejo.
Bejo
menuturkan, bahwa di daerah Sumatera Utara ada sebuah sungai yang bernama
Sungai Ular. Di sungai itu, dijadikan lokasi pembantaian tahanan politik
ataupun warga yang dituduh anggota PKI. Dari wawancara dan penelitian di
lapangan, diperkirakan korban mencapai angka puluhan hingga ratusan jiwa yang
dibunuh di Sungai Ular. Itu baru di Sungai Ular, belum ditempat lain.
Pembantaian
itu sendiri dimulai pada Januari 1966 seiring dengan maraknya aksi demonstrasi
mahasiwa yang digerakan oleh Angkatan Darat melalui Jendral Syarif Thayeb dan
memuncak selama kuartal kedua tahun 1966 sebelum akhirnya mereda pada awal
tahun 1967 menjelang pelantikan Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden oleh
MPRS yang diketuai Jendral Abdul Haris Nasation (jendral lantik jendral).
(Wikipedia bahasa Indonesia, ensikopedia
bebas)
Pembantaian
dimulai dari Ibu Kota Jakarta, yang kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa
Timur, lalu Bali, dan Sumatera. Walau pembantaian terjadi hampir di seluruh
Indonesia, tetapi pembantaian terburuk terjadi di basis-basis PKI di Jawa
Tengah, Timur, Bali, dan Sumatera Utara.
Seoharto
presiden ke dua RI yang telah dijemput malaikat Jibrel untuk
mempertanggungjawabkan hidupnya di depan pengadilan Tuhan karena diduga kuat
sebagai dalang di balik pembantaian 1965-1966 mungkin telah menerima hukumannya
di dunia seberang.
Sebaliknya
di dunia ini, sang Jendral belum tersentuh
oleh hukum. Karena dirinya dibelah oleh kroni-kroninya, juga rakyat
yang menelan pil propagandanya, dan tak
dapat memuntahkannya lagi. Sebab 35 tahun ia berkuasa dengan kebohongan
sejarah, dan kebohongan itu telah dianggap sebagai kebenaran mutlak oleh kroni-kroninya
yang masih hidup, juga rakyat.
Seperti
apa yang dikatakan oleh Adolof Hitler, Pemimpin Nazi yang paling “gila” dari
Seoharto bahwa “Jika anda mengatakan cukup besar berbohong dan mengatakan hal
itu cukup sering, itu akan dipercaya” juga kata Hitler “Buatlah kebohongan
besar, membuatnya sederhana, tetap mengatakannya, dan akhirnya mereka akan
percaya”. Begitulah yang dialakukan Soharto selama berkuasa hingga negara
sekarang ini, dialam reformasi.
Sehingga
ketika sejarah 1965 hendak dikaji kembali untuk mencari akar persoalan, dan
kebenaran. Serta pelaku kejahatan yang sebenarnya dari peristiwa paling biadab
di Indonesia itu. Pasti “rame-rame” antara pro dan kontra akan terjadi. Bahkan
menegangkan. Karena mereka yang diajarkan oleh kebohongan secara terus menerus telah
percaya dan mempertahankan kebohongan sebagai kebenaran yang mutlak, padahal
kebenaran yang diakui secara sepihak itu tidak mutlak kebenarannya. Sebaliknya
kebenaran mutlak adalah kebenaran yang dikaji secara menyeluruh dan mendalam,
serta diakui oleh banyak pihak, bukan sepihak.
Tetapi
karena “kebenaran” sepihak itu telah diajarkan selama ± 35 tahun, dan
menguntungkan mereka, maka dianggap sebagai kebenaran yang mutlak. Dasar begoooo.
Mereka
yang mengakui kebenaran sepihak sebagai kebenaran mutlak di zaman itu hingga
sekaran ini lupa bahwa badai 1965 pasti berlalu, dan memang telah berlalu,
menurut mereka. Juga mungkin mereka lupa bahwa walau badai itu telah berlalu,
tapi badai itu ada meninggalkan jejaknya. Jejak untuk ditelusuri. Bahkan ketika
badai itu terjadi, tidak semua orang yang terkena badai itu lenyap. Tapi masih
ada yang diselamatkan Tuhan untuk menjadi jejak dan saksi untuk menyatakan
kebenaran atas becana kemanusian itu. Agar tragedi kemanusia itu tidak terulang
lagi dialam reformasi ini.
Tragedy
kemanusian 1965 yang dikatakan sebagai goneside
ini berawal dari konflik internal dalam tubuh Angkatan Darat yang muncul
akibat kesenjangan sosial antara prajurit
dengan tentara perwira. Konflik yang telah dianggap sebagai konflik
laten ini kemudian mendapatkan jalan manifestasinya ketika muncul isu kudeta
terhadap Soekarno yang dilancarkan Dewan Jendral. Para perwira Angkatan Darat
yang mendukung kebijakan Sosialisme Seokarno kemudian memutuskan untuk melakukan
manuver polisionil dengan menghadapkan tujuh orang Jendral yang diduga
mengetahui tentang Dewan Jendral ini ke hadapan Soekarno.
Target
operasi ini adalah menghadapkan hidup-hidup ketujuh Jendral tersebut. Namun
malapetaka terjadi ketujuh orang tersebut yang tidak semuanya berpangkat
Jendral, bahkan tiga diantaranya telah dianumertakan ditemukan tak bernyawa
didalam sebuah kubangan yang disebut-sebut sebagai lubang buaya, pada 1 Oktober
1965.
Penemuan
ke tujuh “Jendral” pada pagi hari, 1 Oktober 1965 menjadi malapetaka bagi PKI
dan basis-basis rakyatnya. Serta mereka yang hanya simpatisan saja, bahkan
rakyat yang dituduh PKI. Sebab pada saat itu, Soeharto tanpa melakukan
pemeriksaan dan penyelidikan yang mendalam dan memadai langsung menuduh PKI
sebagai pelaku pembunuhan ke tujuh “jendral”. Tuduan yang dilontarkan Seoharta
tanpa penyelidikan yang mendalam dan memadai inilah yang kini membuat Indonesia
menjadi “rame-rame” ketika memasuki tanggal 30 September. Karena pemeriksaan
dan penyelidikan yang memadai dan mendalam hendak diseminarkan, namun dilarang
oleh mereka yang merasa menjadi pelaku atau telah menelan pil kebohongan dan
tak bisa memuntahkannya lagi.
Siapa
yang salah dan siapa yang benar? Mari kita perjuangkan bersama secara kredibel dialam
reformasi ini hingga tabir kebenaran yang tertutup kabut hitam nan pekat
menjadi terang benderang, walau “rame-rame” kritik-otokritik antar anak bangsa,
baik anak kandung maupun tiri terjadi. Dengan tujuan, menjadi pelajaran sejarah
yang berharga bagi anak-cucu Ibu Pertiwi, baik kandung maupun tiri. Agar kelak
nanti peristiwa 30 September 1962 dan 30 September 1965 tidak terulang lagi. Semoga!
(sumber Foto Google)
No comments:
Post a Comment