Oleh. Pilipus Robaha*
“Menampar, Skatmat, dan Hajar” tujuh
negara pasifik membuat diplomat Indonesia, Nara Rakhmatia menjadi buah bibir
media di Indonesia. pujian dan sanjungan didapat Diplomat cantik, juga masih
muda, ketika menjawab kritikan dari tujuh kepala Negara Pasifik yang mengakat
masalah pelanggaran HAM di Papua dan selfdetermination
bagi Papua dalam Sidang Umum PBB sesi ke-71 yang digelar di New York
Amerika Serikat pada 13-26 September 2016 lalu. Jawaban Nara atas kritikan
tujuh kepalah negara pasifik yang prihatin terhadap persoalan pelanggaran HAM
di Propinsi paling timur dari Indonesia, Propinsi yang menurut bapak reformasi
Indonesia, Amien Rais ketika menjadi bintang tamu diacara kickendy bahwa tinggal menunggu waktu saja untuk merdeka, membuat
Nara bukan saja menjadi buah bibir masyarakat Indonesia, tapi juga orang Papua
sebagai subjek yang dibelah.
Ke tujuh Kepalah Negara yang
“ditampar, diskatmat, dihajar” Nara Sista adalaha; Perdana Menteri Salomond
Islands tuan Manaseh Sogavare, Perdana Menteri Tuvalu tuan Enele Sosene
Sopoaga, Perdana Menteri Vanuatu tuan Charlot Salawai Tabimasmas, Perdena
Menteri Tonga tuan Samuela Akilisi Pohvia, Presiden Marshall Islands puan Hilda
C. Heine, Presiden Nauru tuan Baron Divavesi Waqa, serta Permanent Reprentative Palau Tuan Caleb Otto dan Perwakilan
Pemerintah Salomond untuk PBB tuan Barret Salato.
Jawaban Nara Rakhmatia yang dibesar-besarkan
sebagai “tamparan, skatmat,hajaran” kepada tujuh negara membuatnya menjadi buah
bibir masyarakat Indonesia karena dianggap sebagai pahlawan bangsa. Tetapi apakah
dengan “tamparan, skatmat, hajaran” yang dilakukan kepada ke tujuh negara yang
tergabung didalam Pasifik Island Forum (PIF), dapat menyelamatkan wajah
Indonesia dimata masyarakat Internasional, terumata rakyat bangsa Melanesia,
Micronesia, dan Polynesia yang ada di Pasifik. Juga bangsa kulit hitam di
Afrika yang telah lama menunjukan solidaritasnya bagi perjuangan Papua merdeka,
serta solidaritas Internasional lainya? kami tidak menjawabnya disini, biarlah
waktu yang menjawabnya karena waktu tidak perna salah dalam menilai. Namun tidak
menjadi salah bila jawaban dan cara dari Diplomat Indonesia yang cantik itu
dibahas, walau hanya secuil pupil di lubang hidung.
Dari teks jawaban yang di bacakan
oleh Nara Rakhmatia, tidak menunjukan intelektual otaknya sendiri sebagai
mahasiswa lulusan Hubungan Internasional (HI). Karena membaca teks milik
seorang pengusaha yang kini menjadi Presiden Indonesia paling buruk, sebab suka
menipu rakyat. contoh tipunya (presiden), ialah janji pembangunan pasar bagi
mama-mama pedagang asli Papua yang sampai saat ini, janji itu tinggal janji. Serta
janjinya untuk menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran HAM masa lalu di
Indonesia, namun hingga pertengaan perjalanan kepemimpinannya si raja utang di luar
negeri ini belum menepati janjinya. Dari dua contoh tipu itu, dapat diukur
sejauh mana kebenaran jawaban tersebut.
Masih seputar Nara yang cantik
dan memang hanya Nara yang akan diahas disini. Menurut pribadi, kalau memang
jawaban yang disampaikan pada sidang Umum PBB ke-71 itu, dibuat oleh seorang
diplomat berparas cantik juga hebat seperti yang dipublis di berbagai media baik
cetak mau pun elektronik maka, sebaiknya dan seharusnya, jawaban yang sampaikan
dalam sesi debat dibuat berdasarkan fakta dan data dari hasil kerja pemenuhan
dan penangan serta pengungkapan kasus HAM di Indonesia sebagaimana yang telah
dipelajari sebagai seorang Diplomat atau Mahasiswa HI. bukan jawaban kosong
tanpa data dengan menunjukan sikap kekesalan negara atas kesalahan sendiri.
Juga sikap defensif dan ofensif yang sangat arogansi, seperti yang dikatakan Ketua
Tim Kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dr. Adriana Elisabeth
“Argumentasi diplomasi RI tidak
dibarengi dengan kemajuan kerja tim terpadu yang dibentuk oleh Menko Polhukam
yang menetapkan penyelesaian kasus Wasior, Wamena dan Paniai. Sementara kekerasan
terus berlangsung hampir setiap minggu” kata Adriani, WANI (29/9)
Peneliti LIPI, juga sebagai
penggagas Dialog Jakarta-Papua, mengatakan bahwa Indonesia seharusnya tidak
oragansi dalam menjawab kritik pihak asing dalam mengintervensi masalah dalam
negeri, Indonesia. Tetapi mengambil langkah-langkah strategis komprensif dan
integratif dalam penyelesaian HAM, mencakup aspek proteksi dan pemenuhan
hak-hak sipil, politik, ekonomi dan sosial budaya. Agar ada simpati bagi
Indonesia.
“Tidak cukup dengan cara-cara defensif dan
ofensif. Cara itu, justru mengesankan arogansi politik yang tidak berdampak
pada munculnya simpati kepada Indonesia” bilang Adriani.
Apa yang dikatakan oleh Dr.
Adriani Elisabeth sebagai peneliti senior LIPI, dapat disimpulkan bahwa sikap
Nara dalam debat umum PBB, dengan menyerang balik enam kepala Negara pasifik ketika
membaca teks presiden “si tukang tipu” itu, tidak menunjukan kecantikan
intelekual seorang Diplomat lulusan Hubungan Internasional (HI), juga lulusan
dari jurusan penyiaran Univesitas Indonesia (UI) sebagai mana pujian dan
sanjungan yang didapatkannya.
Pada akhir teks dari jawaban Indonesia
yang dibacakan oleh Nara untuk “menampar,skatmat, dan hajar” ke tujuh kepala
negara Pasifik, tertulis “sebagai kesimpulan Tuan Presiden, Kami sudah
mengatakan di kawasan Asia Pasifik kami ketika seseorang menunjukan jari
telunjuknya pada yang lain, jari jempolnya secara otomatis menunjukan wajahnya”
itulah akhir teks jawaban Indonesia presiden sebagai kesimpulan dalam menanggapi Pidato
enam negara terkait pelanggaran HAM di Papua dan isu selfdetermination bagi Papua yang dibacakan Diplomat cantik Nara
Sista. Yang tanpa disadarinya, pada saat membacakan jawaban untuk membantah
tuduhan tujuh kepalah negara pada saat sesi debat, dilakukannya pula.
Nara Sista lupa, kalau Ibu jarinya
terlihat dengan jelas, menyimpul jari tengahnya dan jari manis serta kelinkingnya
kedalam telapak tangan bagian dalam. Lalu jari telunjuk menunjuk kedepan. Padahal
bahasa tubuh itu, disimpulkan untuk menyerang tujuh kepala negara yang
membawakan masalah pelanggaran HAM dan isu Selfdetermination
bagi Papua.
Dari subsantasi jawaban sampai
gaya dan sikap Rakhmati, menurut salah satu kawanku di facebook bahwa sikap tersebut menunjukan kalau Diplomat muda dan
cantik, Nara Masista Rakmatia tidak lebih dari wajah negara Indonesia di Papua,
yakni; “PREMAN” sekeligus “ABUNAWAS”
*Penulis Adalah, Ketua I Solidaritas Nasional Mahasiswa Papua
(SONAMAPA)
No comments:
Post a Comment