Oleh, Pilipus Robaha*
Sebelum membenarkan atau pun membantah perkataan
yang telah menjadi pernyataan, yang sering dinyatakan para politisi, entah
aktivis Gereja, LSM, Pemuda, Mahasiswa dan aktivis perjuangan kemerdekaan satu bangsa,
yakni pernyataan “....Suara Tuhan adalah suara rakyat...” yang kemudian dalam
lomba penulisan opini yang dibuat oleh Badan Pengurus Majelis Perwakilan
Mahasiswa Universitas Cenraswasih (BP. MPM UNCEN) ditambah lagi dengan “suara
mahasiswa adalah suara rakyat” sehingga menjadi “suara rakyat adalah suara
Tuhan dan suara mahasiswa adalah suara rakyat”. Ini menjadi sebuah pernyataan
yang baru. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan dinamika kehidupan sosial
masyarakat dalam berbangsa dan bernegara akan menjadi pernyataan yang ewat muda
serta akan digunakan disetiap resim aktivis mahasiswa, maka di tengah-tengah
dunia yang tak bebas dari bahasa, kecuali tidur dan mengunya, sebaiknya
memahami dahulu apa arti kata suara, rakyat, Tuhan dan mahasiswa sehingga tidak
terjebak dan hanyut didalam bahasa politik.
Dalam
kamus umum bahasa Indonesia yang disusun, Drs. Arif Santosa, M.pd. Edisi
terbaru. Kata Tuhan masih sangat abstrak sebab kata Tuhan dalam kamus tersebut,
ditulis secara tunggal atau berdiri sendiri sehingga tidak ada artinya. Atau kamusnya
kurang jelas!? Intinya tidak ada arti kata Tuhan jika kata tersebut berdiri
sendiri. Namun apa bila ditambah kata Allah sehingga menjadi Tuhan Allah, itu
baru ada artinya. Artinya ialah Tuhan Allah Yang Esa atau Allah yang hanya
satu. Begitulah arti kata Tuhan. Atau barangkali kata Tuhan harus dicari
didalam Alkitab atau Alquran?
Sedangkan
arti kata suara ialah bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia dan manusia itu
sendiri, artinya seluruh penduduk satu negara, juga bisa orang biasa, anak buah
dan orang-orang bawahan atau dalam istilah marxisme kelas tertindas. Sementara
arti kata mahasiswa adalah pelajar perguruan tinggi. Tidak seperti yang selalu
di politisi dengan memisahkan kata maha dan siswa lalu mengartikannya sebagai;
siswa yang teramat tahu tentang segala sesuatu, setelah yang Maha Kuasa. Itulah
yang dibilang permainan kata dalam bahasa manusia.
Manusia
ketika berbahasa atau bersuara, mengeluarkan “bunyi” yang beragam. Tergantung
“kelas” dan kepentingan mereka serta momentum yang digunakan untuk bersuara,
juga siapa yang bersuara. Apakah dia mahasiswa, politisi, aktivis serta tokoh
adat atau rohaniawan!? Intihya kalau suara tersebut tidak memiliki sifat-sifat
Tuhan dan rakyat sebagai korban yang asiprasinya disuarakan maka, pernyataan “suara
rakyat adalah suara Tuhan dan suara Mahasiswa adalah suara rakyat” hanyalah pernyataan
politik, entah politik pencitraan atau politik mencari makan minum serta
mencari popularitas semata. Itu semua, hanya Tuhan yang diatasnamakan dalam
bersuaralah yang tahu.
Agar
Tuhan tahu dan dapat menerima suara yang mengatasnaman diri-Nya dan rakyat. Maka
setiap aspirasi yang disuarakan oleh Mahasiswa atau siapa pun mereka itu, sebaiknya
mencerminkan Sifat-sifat Tuhan.
Sifat-sifat
Tuhan adalah penyayang, panjang sabar, adil dan jujur serta berani dan tak komproni
dengan sistem yang mewarisi sifat dan karakter iblis. Juga, memeliki sifat
keberpihakan kepada rakyat tertindas dan miskin karena dimiskinkan. Baik secara
rohani dan jasmani oleh pemerintah yang nota bene adalah wakil-Nya di dunia
serta kroni-kroni dari pemerintah.
Nahhhh Dari sifat-sifat Tuhan diatas! Bisakah Mahasiswa,
sebagai penyambung lidah dan suara rakyat yang nota bene adalah suara Tuhan. Tapi
juga, mereka yang sering mengatasnamakan Tuhan dan rakyat dalam menyuarakan
aspirasi orang-orang bawahan, dapat mencerminkan sifat dan karakter Tuhan. Baik
dalam materi yang disuarakan serta jiwa dan raga secara pribadi maupun
organisasi ketika menyuarakan aspirasi rakyat. Jika aspirasi yang disuarakan
serta jiwa dan raga itu, mencerminkan sifat Tuhan maka, kita tidak akan takut
dan kompromi terhadap ancaman musuh yang datang secara langsung maupun tak
langsung. Serta tidak rasis dan emosional dalam materi aksi dan pula ketika
menyuarakan suara rakyat.
Memang,
bila dikata jujur, aktivis mahasiswa abad kini bahkan abad-abad sebelumnya, pada
praktek sosial dalam menyuarakan aspirasi rakyat, masih jauh dari sifat-sifat dan
karakter Tuhan. Karena sebagai manusia kita tidak bisa menyamai Tuhan. Tetapi,
terutama bagi aktivis terutama aktvis mahasiswa jangan menjual suara rakyat,
seperti yang marak terjadi di negara ini, khususnya wilayah konflik seperti
Papua yang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) nya terus bertahan diangka paling
buncit dari seluruh propinsi yang ada di Indonesia. Sehingga pernyataan “suara
rakyat adalah suara Tuhan dan suara Mahasiswa adalah suara rakyat” tidak di
pandang sebagai slogan politik semata atau bahasa politik.
Pernyataan
tersebut akan dianggap sebagai slogan politik semata, bahkan mungkin telah
dianggap demikian. Sebab belakangan ini pada prakteknya, sudah ada oknum-oknum mahasiswa
yang berani mengatasnamakan rakyat (pemuda) dan bertemu dengan pejabat negara dan duduk
makan dan minum bersama dengan mereka yang nyata-nyatanya menghina dan membunuh
jiwa dan raga rakyat. hal ini tidak saja dilakukan oleh mahasiswa, tetapi
hampir kebanyakan aktivis non mahasiswa melakukan hal tersebut. Hal yang sama
sekali tidak mencerminkan sifat dan karakter Tuhan.
Tuhan
Yesus waktu berada di bumi dan berevolusi.
Ia bergaul dan makan bersama-sama rakyat tertindas dan mereka yang dikatakan
berdosa. Tetapi tidak pernah sekali pun duduk dan makan semeja dengan raja
Herodes dan Pilatus, seperti yang telah terjadi dalam aktivitas perjuangan aktivis
mahasiswa dan non mahasiswa.
Penulis
menyadari manusia tak dapat menyerupai Tuhan Yesus maka, terlepas dari sifat
dan karakter Tuhan, menjadi pertanyaan yang harus dijawab setipa manusia yang
menyadang status aktivis sehingga tidak mengatasnamakan Tuhan demi kepentingan
pribadi dan kelompok.
Pertanyaannya
ialah, apabila yang bersuara untuk menyuarakan aspirasi rakyat dan
mengatasnamakan rakyat adalah seorang politisi partai, yang dipilih oleh rakyat
untuk memperjuangkan aspirasi rakyat didalam gedung parlemen, itu dapat dikatakan
sebagai suara Tuhan. Dengan asumsi, ia dipilih oleh rakyat untuk mewakili
rakyat. Jadi wajar bila ia mengatasnamakan rakyat dan Tuhan. Padahal demi
kejayaan dan keberlangsungan roda organisasi partiai, seorang politisi partai dituntut
loyalitasnya kepada partai dan pemilik partai, bukan kepada Tuhan dan rakyat.
Selainitu,
ideologi partai dan pemilik partai cenderung pro kepada kepentingan pemilik
modal, baik para pemodal asing maupun nasional daripada pro pada kepentingan rakyat,
seperti yang marak terjadi di Indonesia dimana semua partai politik
berselingkuh dengan para pemodal dan
melahirkan pemerintahaan yang tuli terhadap jeritan rakyat serta menindas rakyatnya
sendiri.
Sementara
itu, kelompok lain yang dianggap kredibelitas dan integritas tak dapat
diragukan, ternyata Indepensi mereka mulai noda oleh ulah mereka sendiri.
kelompok ini adala kelompok konservatif (Adat, LSM dan tokoh rohaniawan, baik
Islam maupun Kristen). Indepensi dari kelompok konservatif ini, telah dibeli
oleh pemerintah yang kekuasaannya dan sistim pemerintahannya selalu
dibayang-bayangi oleh pemilik modal. Sehingga ketika mereka bicara soal
aspirasi rakyat selalu ada kompromi-kompromi yang menguntungkan pemilik modal. kecuali
kelompok konservatif yang benar-benar masih mempertahankan integritasnya dan indenpensinya,
barulah keberpihakan dan suara mereka ada pada rakyat atau benar-benar
menyuarakan suara orang-orang bawahan yang hak-haknya disalimi oleh pemeritah
secara murni berdasarkan sifat dan karakter Tuhan.
Untuk
itu mahasiswa abad ini, sebelum menambah satu lagi tanggungjawab morilnya, harus
memastikan diri sebagai kelompok yang Independen dan bebas dari intervensi
pemerintah serta lembaga universitas ditengah-tengah sistem pemerintahan dan
birokrasi kampus yang memonopoli hak rakyat dan hak mereka sebagai mahasiswa. Jika
ingin dikatakan sebagai penyambung lidah dan suara rakyat.
Selain
itu, mahasiswa yang dalam kaca mata masyarakat adalah agen kontrol dan agen
perubahan bagi kehidupan sosial masyarakat harus merekontruksi diri dahulu sebelum
menambah lagi tanggungjawab moril di pundak mahasiswa. Mengingat paradigma
sosial mahasiwa telah membentuk pelajar perguruan tinggi diabat ini, menjadi 4
tipologi mahasiswa. Jika tidak maka,
status sosial mahasiswa yang diberikan dari rakyat kepada mahasiswa
berdasarkan ruang dan waktu yang dimiliki oleh mahasiswa, akan dianggap sebagai
mitos belaka. Sehingga pernyataan “suara mahasiswa adalah suara rakyat” hanya
akan dilihat sebagai slogan politik untuk mencari popularitas ditengah-tengah
masyarakat yang lagi menanti datangnya ratu adil.
ketiga
tipologi mahasiswa dari empat tipologi mahasiswa yang perlu direkontruksi oleh
aktivis mahasiswa sebelum menambah tanggungjawab moril dipundak mereka; ialah
Mahasiswa Profesional, Mahasiswa Pragmatis, dan Mahasiswa Trend Setter kearah
Mahasiswa yang kritis.
Mahasiswa
profesional adalah mahasiswa yang keaktifannya dikampus hanya untuk mendapat
nilai yang baik dan selesai tepat waktu. Mahasiswa jenis ini, secara teori menguasai
ilmu yang ditekuninya karena cenderung belajar dan belajar. Tetapi secara
praktek, butah dan tak dapat berbuat apa-apa demi rakyat karena apatis terhadap
persoalan di dalam kampus dan di luar kampus. Yang dipikirkan hanyalah belajar
dan belajar. Sedangkan tipologi pragmatis ialah tipe mahasiswa yang memeiliki
kecakapan baik. Sehingga dengan kecapan yang dimilikinya, ia mencari muka
didepan birokrat kampus, demi kepentingan pribadi dan kadang-kadang golongan
dan suku dari pada kepentingan bersama atau rakyat. sementara mahasiswa dengan
tipologi tren setter (hedonis) merupakan mahasiswa yang mengalami dis orientasi
dalam proses perkulian di kampus sehingga waktu mereka banyak dihabiskan hanya
dengan heppy fun dan berdandan sesuai
dengan mode yang lagi trend. Tanpa
memikir pengaruh dan dampak positif dan negatif dari mode tersebut bagi kehidupan sosial masyarakat. sebaliknya
mahasiswa dengan tipologi kritis, ialah mahasiswa yang selalu berfikir kritis
dalam meyelesaikan masalah-masalah di lingkungan kampus dan diluar kampus.
Serta memiliki keberpihakan yang jelas dalam menyuarakan suara rakyat.
Sebelum
mahasiswa merekontruksi paradigma sosial masyarakat diatas yang kini telah
dianggap mitos belaka dan meyakinkan diri bebas dari intervensi pemerintah dan
birokrasi kampus serta intelejen negara, maka pernyataan “suara rakyat adalah
suara Tuhan dan suara mahasiswa adalah suara rakyat” yang dijadikan thema lomba
menulis opini yang digagas oleh Badan Pengurus Majelis Perwakilan Mahasiwa
Universitas Cendrawasih ( BP. MPM UNCEN)
hanyalah pernyataan politik semata.
*Penulis adalah Wakil Ketua I
SONAMAPA, juga aktivis WPNA
*Tulisan ini dibuat guna
mengikuti lomba menulis opini
yang dibuat oleh BP MPM UNCEN. Namun karena satu dan lain hal sehingga tidak
dikirim kepada panitia lomba. Satu diantaranya adalah penulis tidak percaya
diri. hehehe
No comments:
Post a Comment