Oleh, Pilipus Robaha*
“didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah
penguasa dengan perlawanan” begitulah Seruan Minke, dalam Roman Tetralogi
berjudul “JEJAK LANGKAH” karangan Pramoedya Ananta Toer, salah satu penghuni
kamp kerja paksa di pulau buruh. Seruan Minke pada 1900an ini masih jitu dan
relevan untuk di seruhkan kepada Pemuda dan Mahasiswa Papua. Ada apa? Dan
mengapa? Seruan yang telah berumur usang itu masih dianggap relevan!? Karena
suatu sebab pasti memiliki akibatnya sendiri. Oleh sebab itu, sebelum akibat
dari penyebab itu terjadi marilah kita beroganisasi untuk mendidik rakyat akan
konsekuensi dihari esok yang adalah akibat dari sebuah sebab dimasa lalu. Serta
sikap masa bodoh dan malas tahu dihari ini. Kita belum terlambat untuk
memulainya! Sebab Minke juga bukan orang pertama yang mengobarkan pendirian
organisai modern. Tapi ia sadar bahwa bangsanya belum terlambat untuk
memulainya.
Kita
Pemuda dan Mahasiswa Papua belum terlambat! Sebab organisasi modern yang Minke
maksudkan telah banyak menjamur di Bumi Cendrawasih. Kita hanya perlu kebranian
untuk masuk dan melangkah bersama organisasi-organisasi revolusi tersebut dan
menjelmakannya sebagai raksasa untuk mendidik rakyat dan penguasa dengan
perlawanan. Sebagai akibat dari sebab penjajahan Belanda atas Indonesia, dan
sebab ketidaktahuan pribumi Indonesia waktu itu, ada kegilisahan hati yang mendorong Minke yang
terpelajar, juga terhormat untuk mendirikan organisasi modern sebagai media guna
mendidik rakyat dan mendidik penguasa dengan perlawanan. Bagaimana dengan kita
yang hari ini kembali dikoloni oleh bangsa bekas jajahan Belanda?
Kolonialisme
Belanda atas wilayah dan pribumi Indonesia waktu itu, dan ketidaktahuan pribumi
Indonesia untuk melawan membuat 400 tahun lebih Indonesia dijajah dan ratusan
juta rakyatnya yang tidak berdosa mati
pada masa penjajahan. Untung saja mereka melewan, jika tidak mereka akan
mengalami nasib yang sama seperti suku-suku indian di Amerika dan Aborijin di
Australia. hendakah kita pemuda dan mahasiswa Papua membiarkan bangsa kita
mengalami nasib yang sama dialam penjajah Indonesiaa yang modern dalam system
penjajahannya, hingga bernasib sama seperti suku-suku Indian di Amerika dan
Aborijin di Australia? Karena itu adalah konsekuansi dari bangsa yang
membiarkan dirinya dijajah oleh penjajahan dan kebodohan dalam hegomonia penguasa. Atau sebab akibat
dari penjajahan dan kebodohan.
Jika
hal itu tidak kita inginkan, maka bergabunglah dalam organisasi-organisasi perjuangan
pembebasan nasional rakyat bangsa Papua, seperti; WPNA, KNPB, Garda-P,
GempaR-Papua, dan SONAMAPPA serta lainya. Asal bukan KNPI dan sejenisnya karena
mereka adalah tukan kebun yang memangkas pohon demi pertumbahan pohon yang
lebih baik dan kuat lagi, bukan menembangnya untuk membumi hanguskannya. Camkan
itu dan ini.
Sebelum
akibat dari kolonialisme Indonesia membumi hanguskan bumi dan manusia Papua. Jangan
kita mau dipermalukan oleh Ang San Mei, istri Minke. Perempuan bermata sipit
itu, dan teman-temannya yang sebangsa. Bagaiman mereka mengorbankan jiwa dan
raganya dari negeri pelariannya di Hindia Belanda (dulu Batavia. Sekarang
Jakarta) untuk melawan penjajahn dari sebangsanya sendiri, Jepang dan inggris
sebagai bangsa asing, demi kebabasan bangsanya dan negaranya Tiongkok. Sampai titik
darah pengabisan. Bahkan Ang San Mei sendiri mati di negeri perasingannya dengan
damai ditangan Minke, suaminya di Hindia Belanda setelah 5 tahun mereka berdua
menikah. Dan bukan saja menjadi istri yang baik dan pengertian untuk Minke,
tetapi pula menjadi orang pertama yang memotivasi dan menyarankan Minke untuk
mendirikan organisasi modern demi memperjuangkan kesetaraan serta kesamaan
didepan hukum dan kebebasan bagi pribumi Indonesia. Sungguh mulia hatinya demi
tanah kelahirannya dan bumi serta manusia dimana kakinya di pijak. Sungguh
wanita rekomendasi bagi para aktivis Papua Merdeka. Hehehehe.
No comments:
Post a Comment