Wednesday, February 22, 2017

JEJAKI LANGKAH SEBELUM HILANG DITELAN WAKTU



Oleh, Pilipus Robaha*
 “didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan” begitulah Seruan Minke, dalam Roman Tetralogi berjudul “JEJAK LANGKAH” karangan Pramoedya Ananta Toer, salah satu penghuni kamp kerja paksa di pulau buruh. Seruan Minke pada 1900an ini masih jitu dan relevan untuk di seruhkan kepada Pemuda dan Mahasiswa Papua. Ada apa? Dan mengapa? Seruan yang telah berumur usang itu masih dianggap relevan!? Karena suatu sebab pasti memiliki akibatnya sendiri. Oleh sebab itu, sebelum akibat dari penyebab itu terjadi marilah kita beroganisasi untuk mendidik rakyat akan konsekuensi dihari esok yang adalah akibat dari sebuah sebab dimasa lalu. Serta sikap masa bodoh dan malas tahu dihari ini. Kita belum terlambat untuk memulainya! Sebab Minke juga bukan orang pertama yang mengobarkan pendirian organisai modern. Tapi ia sadar bahwa bangsanya belum terlambat untuk memulainya. 


Kita Pemuda dan Mahasiswa Papua belum terlambat! Sebab organisasi modern yang Minke maksudkan telah banyak menjamur di Bumi Cendrawasih. Kita hanya perlu kebranian untuk masuk dan melangkah bersama organisasi-organisasi revolusi tersebut dan menjelmakannya sebagai raksasa untuk mendidik rakyat dan penguasa dengan perlawanan. Sebagai akibat dari sebab penjajahan Belanda atas Indonesia, dan sebab ketidaktahuan pribumi Indonesia waktu itu,  ada kegilisahan hati yang mendorong Minke yang terpelajar, juga terhormat untuk mendirikan organisasi modern sebagai media guna mendidik rakyat dan mendidik penguasa dengan perlawanan. Bagaimana dengan kita yang hari ini kembali dikoloni oleh bangsa bekas jajahan Belanda? 

Kolonialisme Belanda atas wilayah dan pribumi Indonesia waktu itu, dan ketidaktahuan pribumi Indonesia untuk melawan membuat 400 tahun lebih Indonesia dijajah dan ratusan juta rakyatnya yang tidak berdosa mati  pada masa penjajahan. Untung saja mereka melewan, jika tidak mereka akan mengalami nasib yang sama seperti suku-suku indian di Amerika dan Aborijin di Australia. hendakah kita pemuda dan mahasiswa Papua membiarkan bangsa kita mengalami nasib yang sama dialam penjajah Indonesiaa yang modern dalam system penjajahannya, hingga bernasib sama seperti suku-suku Indian di Amerika dan Aborijin di Australia? Karena itu adalah konsekuansi dari bangsa yang membiarkan dirinya dijajah oleh penjajahan dan kebodohan dalam hegomonia penguasa. Atau sebab akibat dari penjajahan dan kebodohan. 

Jika hal itu tidak kita inginkan, maka bergabunglah dalam organisasi-organisasi perjuangan pembebasan nasional rakyat bangsa Papua, seperti; WPNA, KNPB, Garda-P, GempaR-Papua, dan SONAMAPPA serta lainya. Asal bukan KNPI dan sejenisnya karena mereka adalah tukan kebun yang memangkas pohon demi pertumbahan pohon yang lebih baik dan kuat lagi, bukan menembangnya untuk membumi hanguskannya. Camkan itu dan ini. 

Sebelum akibat dari kolonialisme Indonesia membumi hanguskan bumi dan manusia Papua. Jangan kita mau dipermalukan oleh Ang San Mei, istri Minke. Perempuan bermata sipit itu, dan teman-temannya yang sebangsa. Bagaiman mereka mengorbankan jiwa dan raganya dari negeri pelariannya di Hindia Belanda (dulu Batavia. Sekarang Jakarta) untuk melawan penjajahn dari sebangsanya sendiri, Jepang dan inggris sebagai bangsa asing, demi kebabasan bangsanya dan negaranya Tiongkok. Sampai titik darah pengabisan. Bahkan Ang San Mei sendiri mati di negeri perasingannya dengan damai ditangan Minke, suaminya di Hindia Belanda setelah 5 tahun mereka berdua menikah. Dan bukan saja menjadi istri yang baik dan pengertian untuk Minke, tetapi pula menjadi orang pertama yang memotivasi dan menyarankan Minke untuk mendirikan organisasi modern demi memperjuangkan kesetaraan serta kesamaan didepan hukum dan kebebasan bagi pribumi Indonesia. Sungguh mulia hatinya demi tanah kelahirannya dan bumi serta manusia dimana kakinya di pijak. Sungguh wanita rekomendasi bagi para aktivis Papua Merdeka. Hehehehe.




No comments:

Post a Comment