Oleh, Pilipus Robaha*
Dalam angkutan umum yang penuh
sesak, serta aroma Parfum yang berbeda-beda, juga menyengat lubang hidung,
kesabaranku teruji oleh lambannya kecepatan angkutan umum yang dikendarai, seorang
bapak dari negeri seberang. Seorang yang berbeda ras denganku, juga budaya dan
adat-istiadat. Tetapi itu bukan persoalan utama yang membuatku gelisa dan emosi
di dalam angkutan umum. Yang menjadi persoalan ialah perasaan takut terlambat
dalam mengikuti sidang kasus “Lakalantas” yang menewaskan presiden pasar
mama-mama Papua, Robert Jitmau dengan agenda sindang mendengarkan keterangan
saksi.
Perasaan bersalah karena
terlambat itu, semakin mencuat, membuat urat-urat emosi di testaku menampakan
dirinya, ketika terlihat jarum jam yang panjang pada jam tangan seorang pelajar
SMA menunjuk angka 6, sementara jarum pendek berada di pertengaan angka 10 dan
11. Berarti diriku sudah telat 30 menit. Tidak tahu dengan si anak SMA yang
terlihat santai menikmati lambannya kendaraan yang dinakodai orang tua paruh
baya itu.
Perasaan bersalah sebab terlambat
semakin menjadi-jadi didalam hati dan pikiran ketika kata “Rojit seakan bukan
anak kami, dia milik orang Papua setelah memilih dunia aktivis sebagai dunianya. Tetapi setelah 40 hari paskah
kematiannya! Ribuan tangisan yang membuat dirinya meninggalkan kami demi menghapus
ribuan air mata itu, entah dimana?” Bilang Direktur Sekretariat Keadilan,
Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, Yuliana Langoyuwo
menirukan kata-kata ibu biologis dari Robert Jitmau. Suara seorang ibu yang rela melepaskan anak
biologisnya menjadi anak ideologis bagi mama-mama pedagang asli Papua, pada
saat meng up date agenda sindang
“lakalantas” yang menewaskan sekertaris Solidaritas Pedagang Asli Papua
(SOLPAP) pada (20 Mei 2016) di Jalan Ring Road Kelurahan Hamadi Kota Jayapura,
pukul 05.00 WP.
Sesampainya, aku di Kantor
Pengadilan Kelas 1A Jayapura, sudah ada puluhan mama-mama yang sehari-harinya
duduk berjualan buah-buah pinang serta sayur-sayuran dan kerajinan tangan
(noken) mereka dengan beralas karton dan karung bekas di pasar sementara bagi mama-mama
pedang asli Papua yang dibangung pemerintah Daerah Papua atas desakan
perjuangan alm Rojit Cs.
Mama-mama pedagang asli Papua
ini, telah ada di kantor pengadilan klas 1A Jayapura, lebih awal dari waktu
yang diputuskan atau ditetapkan untuk melanjutkan agenda sidang ke tiga, kasus
“lakalantas” yang menewaskan anak ideologis mereka, Robert Jitmau. Dengan
agenda mendengarkan keterangan saksi. Dan memang mereka paling setia menghadiri
sidang tersebut serta disiplin dan konsisten dengan waktu yang telah diputuskan
oleh pengadilan. Tidak seperti pihak Jaksa di Papua yang sering molor berjam-jam guna
memancing di “air keruh” pada kolam waktu yang molor.
Rabu 20 September 2016 Pukul
10.00 WP adalah waktu yang diputuskan oleh jaksa untuk melanjutkan sidang dengan
agenda mendengarkan keterangan. Tetapi yang terjadi tidak sesuai dengan waktu yang
diputuskan oleh pengadilan. Kurang 25 menit lagi jam empat (4) sore barulah
dimulai. Itu artinya 5 jam 35 menit telah dikorupsi oleh pengadilan.
Waktu saja sudah dikorupsi apa
lagi uang, pasti dicuri, hehehe. Tapi
itu bukan hal yang baru di pengadilan Papua dan bukan saja untuk kasus Rojit,
namun hampir disemua kasus yang masuk ke pengadilan Papua mengalami pelayanan
yang sama, buruknya. Atau kah memang itu wajah Negara di Papua dalam hal
pelayanan publik? Perlu diketahui bahwa, dalam kasus “lakalantas” yang menewaskan
aktivis muda Papua, Roberth Jitmau S.H. Pihak jaksa penuntut umum tidak
mengembangkan kasus tersebut berdasarkan dinamika yang berkembag di luar
pengadilan, juga berdasarkan keterangan para saksi pada saat persidangan.
Contohnya; dalam keterangan para
saksi, saksi ada menyebutkan nama orang yang lain lagi, tapi jaksa tidak
memanggil nama orang tersebut untuk dimintai keterangannya di pengadilan. Juga
Jaksa Penuntut umum tidak memanggil dokter yang melakukan tindakan medis
(membersihkan) tubuh korban di rumah sakti Bahyangkara Papua atau ahli
transportasi untuk mendapatkan keterangan apakah kasus tersebut merupakan
lakalantas murni atau lakalantas jadi-jadian. Mengingat korban tidak sedang
mengendarai kenderaan, tapi sedang diam di tempat lalu ditabrak dan lokasi
kejadian adalah lokasi yang dipilih teman dari terdakwa yang nota bene adalah
orang mengajak korban, Rojit.
Yaaa, setidaknya JPU di
Pengadilan Papua yang menangani kasus ini, bertindak seperti halnya JPU dalam
kasus kopi bersianida yang menyeret Jessica Kumala Wongso ke meja hijau sebagai
tersangka pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang telah memasuki sidang ke 15
dengan menjadikan terdakwa, Jessica sebagai saksi dan menurut Arditho salah
satu JPU dalam kasus kopi bersianida masih akan memanggil saksi, dan kali ini
akan lebih menyortir saksi, OKEZONE, Senin (29/8/2016). Berharap JPU dalam kasuss “lakalantas” ini, bertindak sama,
mulai dari waktu hingga pengembanan kasus.
Melihat dinamika persidangan dan
profesionalisme dari para jaksa, mulai dari Jaksa Penuntut Umum hingga ketiga
jaksa yang memimpin persidangan yang terlihat tidak profesional dalam membuat
pertanyaan untuk menggali keterangan saksi dan mengembangkan kasus, membuatku
semakin naik pitam. Sementara perasaan bersalah karena terlambat yang
menghantuiku didadalam perjalan telah hilang ditelang dinamika persidangan serta
profesionalisme JPU yang buruk dalam mengungkap tabir kebenaran. Dan memang
diriku tidak terlambat karena diselamatkan dengan pemberlakuan Jam “karet” di
Pengadilan Klas 1A Jayapura.
Dinamika itu, semakin mengkristalkan
kesadaraanku, kalau Negara Indonesia di Papua sangat diskrminasi bagi kami
orang asli Papua. Jadi wajar kalau orang Papua minta merdeka, keluar dari NKRI karena
praktek hukum di Papua dan di luar Papua sangat jauh berbeda. Contohnya kasus
lakalantas yang menewaskan Roberth Jitmau seorang di Papua dan kasus Kopi
bersianida yang menewaskan Wayang Mirna Salihin di Jakarta.
*Penulis adalah Ketua I SONAMAPA